TERIMALAH AKU SATU PAKET

Beberapa tahun yang lalu, Indonesia memilki idola dari segala idola. Hampir semua golongan dan bahkan lintas agama mengagungkannya. Pamornya melebihi presiden ataupun bintang film paling terkenal sekalipun. Kharismanya saat berbicara membuat para jendralpun ‘segan’ saat berdampingan dengannya. Siapa lagi jika bukan KH Abdullah Gymnastiar, atau lebih beken dengan sebutan Aa Gym. 
 
Saya pernah diminta menjadi MC dadakan, pada acara ‘wejangan’ untuk para pengusaha di bawah bendera HIPMI Batam. Tak seperti biasanya yang lancar berbicara di depan umum, kali itu keluar keringat dingin saya. Spontan saya berucap,”Ntah kenapa saya merasa seperti seekor monyet yang penuh dosa dihadapan Aa (panggilan Aa Gym) yang begitu mulia. Seolah mata Aa menelanjangi aib-aib saya.” Aa-pun tersenyum dan hanya mengucap,”Masa’ sih?!”
 
Tak berapa lama kemudian, ada sebuah berita tentang ‘penambahan’ statusnya sebagai seorang suami. Meski beliau tidak melakukan suatu ‘kesalahan’ secara hukum agamanya, namun beliau melakukan sesuatu yang tidak ‘disukai’ oleh kebanyakan orang, apalagi kaum hawa. Tak lama berselang, mayoritas umatnya mulai meninggalkannya. Anehnya, meski kata-kata dalam dakwahnya sama dan baik, namun mayoritas orang tidak lagi mempedulikannya? Mengapa? Karena mereka kecewa. Sosok Aa Gym dianggap telah ‘menodai’ keagungan seorang figur masyarakat. Darimana datangnya kekecewaan itu?
 
Sebelum Aa Gym berpoligami, beliau memiliki ‘harapan peran’ sebagai seorang yang dianggap ‘suci’ oleh masyarakat. Namun masyarakat tidak sadar bahwa Aa Gym bukanlah malaikat. Mereka tidak mencari tahu apa sesungguhnya alasan Aa berbuat seperti itu? Tapi mereka telanjur menghakimi berdasarkan prasangka mereka. Apalagi mendapat dukungan kaum oportunis, juga media masa yang memancing di air keruh.
 
Sudah menjadi sifat dasar manusia memandang seorang publik figur seolah malaikat. Mereka menilai orangnya, bukan hikmah yang diajarkannya. Bagaimana dengan orang tua atau anak Anda? Apakah Anda masih menghargai dan menerima mereka, meski ‘menurut kita’, mereka berbuat nista? Mengapa tidak kita anggap seolah saudara kita? Ingat, benar menurut siapa, salah menurut siapa?

“Terimalah aku satu paket, bukan hanya sisi baiknya, namun sisi kurangnya juga. Aku hanyalah manusia, bukan makhluk tanpa dosa. Aku belajar dengan waktu bahwa manusia berubah dengan waktu dan kejadian-kejadian. Aku belajar dengan pengalaman, ternyata banyak prasangkaku yang keliru. Aku belajar dengan waktu, untuk memahami, bukan menghakimi.”


Penulis:
Jaya Setiabudi